Beranda | Artikel
Gaul Boleh Saja, tapi Jangan Kebablasan
Senin, 11 Maret 2019

Istilah “gaul” adalah istilah kekinian yang digunakan oleh pelakunya agar dianggap mengikuti trend dan gaya pergaulan masa kini serta tidak ketinggalan zaman. “Gaul” ini digandrungi oleh anak-anak muda yang memang jati diri pemuda adalah ingin terlihat eksis sebagai ajang pembuktian diri.

Baca Juga: Menjaga Anak dan Pemuda dari Paham Liberal dan Pluralisme

Apakah seorang muslim boleh ikut gaul dan mengikui gaya dan trend di zaman ini?

Jawabannya dirinci.

  1. Apabila itu hal yang mubah, tidak melanggar syariat serta tidak menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir dan fasik, maka boleh saja, bahkan kita diperintahkan bergaul dengan masyarakat dan mencocoki (menyesuaikan) apa yang biasa ada pada masyarakat dalam hal muamalah selama tidak melanggar syariat.
  2. Apabila hal itu melanggar syariat dan menyerupai orang kafir atau fasik, maka hukumnya tidak boleh. Terlebih hal ini dilakukan hanya untuk “mencari ridha” manusia atau sekedar membuat mereka senang dengan cara yang salah.
    Misalnya: Dengan maksud tujuan berdakwah tetapi memakai pakaian “gaul” yang melanggar syariat atau memakai istilah “gaul” atau melakukan permainan “gaul” yang melanggar syariat. Inilah yang disebut dengan “gaul yang kebablasan”

Baca Juga: Nasehat Bagi Pemuda-Pemudi Yang Masih Menunda Nikah

Berikut penjelasan dari rincian di atas:

1. Boleh “gaul” dalam hal yang mudah dan tidak melanggar syariat

Hukum asal muamalah adalah mubah, sebagaimana kaidah:

الأصل في المعاملات الإباحة

“Hukum asal berbagai muamalah (urusan dunia) adalah mubah”

Sehingga boleh saja kita gaul selama masih dalam koridor syariat dan selama tidak ada larangan dalam agama, bahkan kita diperintahkan untuk mencocoki atau menyesuaikan dengan masyarakat di sekitar kita selama tidak melanggar syariat. Misalnya:

  • Apabila masyarakat kita biasa memakai baju batik (bagi laki-laki) untuk acara resmi, maka lebih hikmah kita memakai baju batik daripada memakai baju koko shalat atau jubah
  • Apabila masyarakat kita hampir semua memakai sarung dan peci hitam ketika shalat di masjid, maka lebih hikmah kita juga memakai hal yang sama.

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin, beliau berkata,

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata,

أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.

“Mencocoki/menyesuaikan kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhrah (suatu yang tampil beda sekali dan mencolok, pent). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhrah. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.” [Syarhul Mumti’ 6/109]

Baca Juga: Sakaratul Maut Paling Berkesan Milik Sang Pemuda Berbakti

Kita juga diperintahkan tetap bergaul dengan masyarakat dan bersabar dengan ujian serta gangguan dari mereka, hal ini lebih baik daripada pergi meninggalkan mereka dan menyendiri (uzlah) dan menjauh dari masyarakat. Tentunya kita tetap berusaha istiqamah dan memohon pertolongan kepada Allah.

Perhatikan hadits berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺨَﺎﻟِﻄًﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻭَﻳَﺼْﺒِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺫَﺍﻫُﻢْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻭَﻻَ ﻳَﺼْﺒِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺫَﺍﻫُﻢْ ‏

“Sesungguhnya seorang muslim, jika ia bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.” [HR. Tirmidzi, shahih]

2. Gaul yang kebablasan dan melanggar syariat

Niatnya mungkin baik, akan tetapi caranya yang salah yaitu ingin membuat manusia senang atau ingin agar manusia menilai orang yang beragama itu gaul juga dan tidak ketinggalan zaman, akan tetapi jika dilakukan dengan cara yang melanggar syariat, tentu tidak diperkenankan.

Yang kita cari adalah ridha Allah Ta’ala, bukan ridha manusia.

Yang kita tuju adalah beragama yang baik, bukan agar manusia senang.

Yang kita inginkan adalah kualitas beragama, bukan semata-mata kuantitas sekedar  mengumpulkan manusia dalam jumlah yang banyak.

Baca Juga: Kisah Pemuda Ahli Tauhid Yang Pemberani

Tidak perlu kita mencari cara agar manusia kembali ke agama (hijrah) dengan cara yang salah. Cukup kita cari ridha Allah, maka Allah akan membuat manusia ridha.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦِ ﺍﻟْﺘَﻤَﺲَ ﺭِﺿَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑِﺴَﺨَﻂِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻛَﻔَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣُﺆْﻧَﺔَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﻟْﺘَﻤَﺲَ ﺭِﺿَﺎﺀَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺴَﺨَﻂِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻛَﻠَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ‏

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia .” (HR. Tirmidzi, shahih)

Yang dikhawatirkan apabila terus ingin membuat manusia senang dan ridha, akhirnya “gaul kebablasan”, karena mencari ridha manusia itu tidak ada ujungnya.

Imam Syafi’i berkata,

رضا الناس غاية لا تدرك، فعليك بما يصلحك فالزمه

“Ridha manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah bisa tergapai, Tetaplah berbuat baik dan istiqamahlah.” (Mukhtashar Sifatus Shafwah, 1/85)

Baca Juga:

Demikian semoga bermanfaat

@ Di antara langit dan bumi Allah, pesawat Wings Air Pomala – Makasar

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

🔍 Hadits Tentang Menyampaikan Ilmu, Ayat Islam Rahmatan Lil Alamin, Ayat Alquran Tentang Jin, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak, Video Renungan Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/45552-gaul-boleh-saja-tapi-jangan-kebablasan.html